Sabtu, 11 Januari 2020

Perkembangan Proses Penyelenggaraan NKRI

Proses penyelenggaran negara dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia mengalami dinamika. Meskipun UUD 1945 ketika pertama kali disahkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia mengamanatkan bentuk negara kesatuan sebagai bentuk negara yang baku dan tidak dapat ditawar lagi. Dalam perjalanannyanegara kita tercinta pernah mengalami periode di mana konsep negara kesatuan diganti dengan federalisme. Hal tersebut dilakukan karena kondisi yang memaksa kita untuk mengubah bentuk negara. Tujuannya adalah agar Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia dan segera pergi dari tanah air Indonesia.

A. Periode 18 Agustus 1945 sampai dengan 27 Desember 1949
Pada periode ini bentuk negara Republik Indonesia adalah kesatuan, dengan bentuk pemerintahan adalah republik dan presiden berkedudukan sebagai kepala pemerintahan kepala negara dengan sistem pemerintahan presidensial. Pada periode ini baru dapat diwujudkan presiden, wakil presiden, para menteri dan gubernur. Departemen yang dibentuk terdiri atas 12 departemen dan provinsi yang baru dibentuk ada 8 provinsi. Aturan Peralihan UUD 1945 yang menyatakan bahwa untuk pertama kalinya presiden dan wakil presiden dipilih oleh PPKI.

Undang-Undang Dasar 1945 melalui ketentuan dalam pasal IV Aturan Peralihan menyatakan bahwa Sebelum Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan pertimbangan Agung dibentuk menurut Undang-Undang Dasar ini, segala kekuasaanya dijalankan oleh Presiden dengan bantuan sebuah komite nasional. Pasal IV aturan peralihan ini memberikan kekuasaan yang teramat luas kepada presiden. Kekuasaan presiden meliputi kekuasaan pemerintahan negara (eksekutif), menjalan kekuasaan MPR dan DPR (legislatif) serta menjalankan tugas DPA. Kekuasaan yang teramat besar itu diberikan kepada presiden hanya untuk sementara waktu saja, agar penyelenggaraan negara dapat berjalan.

Pasal IV Aturan Peralihan UUD 1945 dijadikan dalih oleh Belanda untuk menuduh Indonesia sebagai negara diktator, karena kekuasaan negara terpusat kepada presiden. Untuk melawan propaganda Belanda pada dunia internasional, pemerintah RI mengeluarkan tiga buah maklumat.
  1. Maklumat Wakil Presiden Nomor X (baca eks) tanggal 16 Oktober 1945 yang menghentikan kekuasaan luar bisa dari Presiden sebelum masa waktunya berakhir. Kemudian maklumat tersebut memberikan kekuasaan MPR dan DPR kepada Komite Nasional Indonesia Pusat. Pada dasarnya maklumat ini adalah penyimpangan terhadap ketentuan UUD 1945.
  2. Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945. tentang pembentukan partai politik yang sebanyak-banyaknya oleh rakyat. Hal ini sebagai akibat dari anggapan pada saat itu bahwa salah satu ciri demokrasi adalah multipartai. Maklumat tersebut juga sebagai upaya agar dunia barat menilai bahwa Indonesia adalah negara yang menganut asas demokrasi.
  3. Maklumat pemerintah tanggal 14 November 1945, yang intinya mengubah sistem pemerintahan presidensial menjadi sistem pemerintahan parlementer. Maklumat tersebut kembali menyalahi ketentuan UUD RI 1945 yang menetapkan sistem pemerintahan presidensial sebagai sistem pemerintah Indonesia.
Sistem parlementer berlaku mulai tanggal 14 November 1945 dan berakhir pada tanggal 27 Desember 1949. Kabinet yang pertama dipimpin oleh Sutan Syahrir yang dilanjutkan dengan kabinet Syahrir II dan III. Sewaktu bubarnya kabinet Syahrir III, sebagai akibat meruncingnya pertikaian antara Indonesia-Belanda, pemerintah membentuk Kabinet Presidensial kembali (27 Juni 1947-3 Juli
1947). Namun atas desakan dari beberapa partai politik, Presiden Soekarno kembali membentuk Kabinet Parlementer, seperti berikut.
  1. Kabinet Amir Syarifudin I : 3 Juli 1947- 11 November 1947
  2. Kabinet Amir Syarifudin II: 11 November 1947-29 Januari 1948
  3. Kabinet Hatta I : 29 Januari 1948-4 Agustus 1949
  4. Kabinet Darurat (Mr. Sjafruddin
  5. Prawiranegara) : 19 Desember 1948-4 Agustus1949
  6. Kabinet Hatta II : 4 Agustus 1949-20 Desember 1949)

Periode Negara Kesatuan Republik Indonesia berakhir seiring dengan hasil kesepakatan Konferensi
Meja Bundar yang mengubah bentuk negara kita menjadi negara serikat pada tanggal 27 Desember 1949.

B. Periode 17 Agustus 1950 sampai dengan 5 Juli 1959
Pada periode ini, Indonesia menggunakan Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia Tahun 1950 (UUDS 1950) yang berlaku mulai tanggal 17 Agustus 1950. UUDS RI 1950 merupakan perubahan dari Konstitusi RIS yang diselenggarakan sesuai dengan Piagam Persetujuan antara Pemerintah RIS dan Pemerintah RI pada tanggal 19 Mei 1950.

Bentuk negara Indonesia adalah kesatuan yang kekuasannya dipegang oleh pemerintah pusat. Hubungan dengan daerah didasarkan pada asas desentralisasi. Bentuk pemerintahan yang diterapkan adalah republik, dengan kepala negara adalah seorang presiden yang dibantu oleh seorang wakil presiden.

Sistem pemerintahan yang dianut adalah sistem pemerintahan parlementer dengan menggunakan kabinet parlementer yang dipimpin oleh seorang perdana menteri. Alat-alat perlengkapan negara meliputi Presiden dan Wakil Presiden, menteri-menteri, Dewan Perwakilan Rakyat, Mahkamah Agung, dan Dewan Pengawas Keuangan. Pada saat mulai berlakunya UUDS RI 1950, dibentuk Dewan Perwakilan Rakyat Sementara yang merupakan gabungan anggota DPR RIS ditambah ketua dan anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat dan anggota yang ditunjuk oleh presiden.

Praktik sistem pemerintahan parlementer yang diterapkan pada masa berlakunya UUDS 1950 dalam kurun waktu antara 1950-1959, telah terjadi 7 kali pergantian kabinet.
  1. Kabinet Natsir : 6 Sepetember 1950-27 April 1951
  2. Kabinet Sukiman-Suwirjo : 27 April 1951-3 april 1952
  3. Kabinet Wilopo : 3 April 1952-30 Juli 1953
  4. Kabinet Ali Sastroamidjojo I : 30 Juli 1953-12 Agustus 1955
  5. Kabinet Burhanudin Harahap : 12 Agustus 1955-24 Maret 1956.
  6. Kabinet Ali Sastroamidjojo II : 24 Maret 1956-9 April 1957
  7. Kabinet Djuanda (Kabinet Karya) : 9 April 1957-10 Juli 1959.
Pada periode ini muncul pemberontakan-pemberontakan seperti pemberontakan DI/TII, RMS di Maluku, APRA di Bandung, PRRI-Permesta dan sebagainya. Hal yang menyebabkan kondisi negara kacau pada periode ini adalah tidak berhasilnya badan konstituante menyusun undang-undang dasar yang baru. Presiden Soekarno untuk mengajukan rancangannya mengenai konsep demokrasi terpimpin dalam rangka kembali kepada UUD 1945. Presiden untuk menggunakan wewenangnya yakni mengeluarkan Dektrit Presiden tanggal 5 Juli tahun 1959, yang berisi di antaranya sebagai berikut.
  1. Pembubaran konstituante
  2. Memberlakukan kembali UUD 1945 dan tidak berlakunya lagi UUDS 1950
  3. Pembentukan MPR dan DPA sementara.

C. Periode 5 Juli 1959 sampai dengan 11 Maret 1966 (Masa Orde Lama)
Sejak berlakunya kembali UUD 1945, Presiden berkedudukan sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Kabinet yang dibentuk pada tanggal 9 Juli 1959 dinamakan Kabinet Kerja yang terdiri atas unsur-unsur berikut.
  1. Kabinet Inti, yang terdiri atas seorang perdana menteri yang dijabat oleh Presiden dan 10 orang menteri.
  2. Menteri-menteri ex officioō€€¸ yaitu pejabat-pejabat negara yang karenajabatannya diangkat menjadi menteri. Pejabat tersebut adalah Kepala Staf Angkatan Darat, Laut, Udara, Kepolisian Negara, Jaksa agung, Ketua Dewan Perancang Nasional dan Wakil Ketua Dewan pertimbangan Agung.
  3. Menteri-menteri muda sebanyak 60 orang.

Pada mulanya ide demokrasi terpimpin adalah demokrasi yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Namun, lama kelamaan bergeser menjadi dipimpin oleh Presiden/Pemimpin Besar Revolusi. Segala kebijakan didasarkan kepada kehendak pribadi dan tidak berdasarkan perundang-undangan yang berlaku. Pemerintahan berlangsung otoriter, dan terjadinya pengkultusan individu.

Pelaksaan pemerintahan pada periode ini, meskipun berdasarkan UUD 1945, dalam kenyataannya banyak terjadi penyimpangan terhadap Pancasila dan UUD 1945. Berikut ini adalah beberapa penyimpangan selama pelaksanaan demokrasi terpimpin.
  1. Membubarkan DPR hasil pemilu dan menggantikannya dengan membentuk DPR Gotong Royong (DPRGR) yang anggotanya diangkat dan diberhentikan oleh presiden.
  2. Membentuk MPR sementara yang anggotanya diangkat dan diberhentikan oleh presiden.
  3. Penetapan Ir. Soekarno sebagai presiden seumur hidup oleh MPRS.
  4. Membentuk Front Nasional melalui Penetapan Presiden No.13 Tahun 1959 yang anggotanya berasal dari berbagai organisasi kemasyarakatan dan organisasi sosial politik yang ada di Indonesia.
  5. Terjadinya pemerasan terhadap Pancasila. Pancasila yang berkedudukan sebagai dasar negara dan pandangan hidup bangsa diperas menjadi tiga unsur yang disebut Trisila, kemudian Trisila ini diperas lagi menjadi satu unsur yang disebut Ekasila. Ekasila inilah yang dimaksud dengan Nasakom (nasionalis, agama dan komunisme).

Gagasan Nasakom inilah yang memberi peluang bangkitnya Partai Komunis Indonesia (PKI). PKI melakukan pemberontakan pada tanggal 30 September 1965 yang ditandai dengan dibantainya 7 orang perwira TNI Angkatan Darat.

D. Periode 11 Maret 1966 sampai dengan 21 Mei 1998 (masa Orde Baru)
Kepemimpinan Presiden Soekarno dengan demokrasi terpimpinnya, akhirnya jatuh pada tahun 1966. Jatuhnya Soekarno menandai berakhirnya masa Orde Lama dan digantikan oleh Orde Baru yang dipimpin Soeharto. Prioritas utama yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru bertumpu pada pembangunan ekonomi dan stabilitas nasional yang mantap. Selama memegang kekuasaan negara, pemerintahan Orde Baru tetap menerapkan sistem pemerintahan presidensial. Kelebihan dari sistem pemerintahan Orde Baru adalah sebagai berikut.
  1. Perkembangan pendapatan per kapita masyarakat Indonesia yang pada tahun 1968 hanya 70 dollar Amerika Serikat dan pada 1996 telah mencapai lebih dari 1.000 dollar Amerika Serikat.
  2. Suksesnya program transmigrasi, program Keluarga Berencana, dan sukses memerangi buta huruf.

Orde Baru melakukan beberapa penyimpangan terhadap Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Beberapa penyimpangan konstitusional yang paling menonjol pada masa Pemerintahan Orde Baru sekaligus menjadi kelemahan sistem pemerintahan Orde Baru adalah sebagai berikut.
  1. Bidang Ekonomi. Penyelengaraan ekonomi tidak didasarkan pada Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945. Terjadinya praktik monopoli ekonomi. Pembangunan ekonomi bersifat sentralistik sehingga terjadi jurang pemisah antara  pusat dan daerah. Pembangunan ekonomi dilandasi oleh tekad untuk kepentingan individu.
  2. Bidang Politik. Kekuasaan berada di tangan lembaga eksekutif. Presiden sebagai pelaksana undang-undang kedudukannya lebih dominan dibandingkan dengan lembaga legislatif. Praktik kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN) biasa terjadi yang tentunya merugikan perekonomian negara dan kepercayaan masyarakat.
  3. Bidang hukum. Perundang-undangan yang mempunyai fungsi untuk membatasi kekuasaan presiden kurang memadai sehingga kesempatan ini memberi peluang terjadinya praktik KKN dalam pemerintahan.

Pada tanggal 21 Mei 1998, Presiden Soeharto menyatakan mengundurkan diri. Sebagai gantinya, B.J. Habibie yang ketika itu menjabat sebagai wakil presiden dilantik sebagai Presiden RI yang ketiga. Masa jabatan Presiden B.J. Habibie berakhir setelah pertanggungjawabannya ditolak oleh Sidang Umum MPR pada tanggal 20 Oktober 1999.

E. Periode 21 Mei 1998-sekarang (masa reformasi)
Memasuki masa Reformasi, bangsa Indonesia bertekad untuk menciptakan sistem pemerintahan yang demokratis. Pemerintah konstitusional bercirikan adanya pembatasan kekuasaan pemerintahan atau eksekutif dan jaminan atas hak asasi manusia dan hak-hak warga negara. Salah satu bentuk reformasi adalah melakukan perubahan atau amandemen atas Undang-Undang Dasar 1945 pada tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002.

Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 juga mengubah struktur ketatanegaraan Indonesia. Beberapa perubahan mendasar dalam ketatanegaraan Indonesia setelah perubahan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu sebagai berikut.
  1. Kedaulatan di tangan rakyat dan dilakukan menurut Undang-Undang Dasar (Pasal 1)
  2. MPR merupakan lembaga bikameral, yaitu terdiri dari DPR dan DPD (Pasal 2)
  3. Presiden dan Wakil Presiden dipilih langsung oleh rakyat (Pasal 6A)
  4. Presiden memegang jabatan selama lima tahun dan dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan (Pasal 7)
  5. Pencantuman hak asasi manusia (Pasal 28 A-28J)
  6. Penghapusan DPA sebagai lembaga tinggi negara
  7. Presiden bukan mandataris MPR
  8. MPR tidak lagi menyusun GBHN
  9. Pembentukan Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial (Pasal 24B dan 24C)
  10. Anggaran pendidikan minimal 20 % (Pasal 31)
  11. Negara kesatuan tidak boleh diubah (Pasal 37)
  12. Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 dihapus
 Proses penyelenggaran negara dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia mengalami d Perkembangan Proses Penyelenggaraan NKRI
Dalam sejarah ketatanegaraan di negara kita pernah terjadi dua kali peristiwa dikeluarkannya dekrit presiden yaitu pada masa Presiden Soekarno dan Presiden Abdurrahman Wahid.
No.AspekSukarnoGus Dur
1.Latar belakang dikeluarkannyaDekret Presiden 1959 dilatarbelakangi oleh kegagalan Badan Konstituante untuk menetapkan UUD baru sebagai pengganti UUDS 1950. Anggota konstituante mulai bersidang pada 10 November 1956. Namun pada kenyataannya sampai tahun 1958 belum berhasil merumuskan UUD yang diharapkan. Sementara, di kalangan masyarakat pendapat-pendapat untuk kembali kepada UUD '45 semakin kuat.Persoalan yang sangat menonjol dalam pemerintahan Gus Dur adalah sebagai berikut : masalah KKN, pemulihan ekonomi, masalah Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), kinerja BUMN, pengendalian inflasi, mempertahankan kurs rupiah, masalah jaringan pengaman sosial (JPS), penegakan hukum, dan penegakan HAM
2.IsiIsi dari Dekret tersebut antara lain :
  1. Pembubaran Konstituante 
  2. Pemberlakuan kembali UUD '45 dan tidak berlakunya UUDS 1950 
  3. Pembentukan MPRS dan DPAS dalam waktu yang sesingkat-singkatnya
Isi Dekrit K.H. Abdurrahman Wahid (Gusdur) :
  1. Membekukan MPR dan DPR Republik Indonesia.
  2. Mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat.
  3. Menyelamatkan gerakan reformasi total dari hambatan unsur-unsur Orde Baru.
3.Dukungan terhadap dekrit tersebutSukarno berani mengeluarkan Dekrit tahun 1959 karena didukung oleh TNI seluruhnya melalui AH Nasution. Di DPR dan Konstiituante, PNI, PKI serta beberapa partai lain mendukung rencana Dekrit. Sukarno berhasil pertahankan Dekrit. Maka tindakan revolusi hukumnya sah.Presiden Gus Dur mengeluarkan Dekrit membubarkan DPR/MPR. Namunt Gus Dur tidak mendapat dukungan TNI, Polisi, Politisi dan rakyat untuk keluarkan Dekrit, sehingga revolusi hukumnya gagal.
4.Akibat yang ditimbulkan dari dikeluarkannya dekrit tersebutSetelah keluarnya dekrit presiden tanggal 5 juli 1959, sebagai tindak lanjut pemerintah mengeluarkan beberapa keputusan, antara lain:
  1. Pembentukan kabinet kerja, dengan programnya yang disebut tri program, isinya:
  2. Penetapan DPR hasil pemilu 1955 menjadi DPR tanggal 23 juli 1959.
  3. Pembentukan DPR-GR.
  4. Pembentukan dewan perancang Nasional (Depernas) dan Font Nasional. 
  5. Penetapan GBHN. 
Amien Rais selaku ketua MPR menolak secara tegas dekrit presiden tersebut. Atas usulan DPR maka MPR mempercepat sidang istimewa. Hal tersebut merupakan puncak jatuhnya K.H. Abdurrahman Wahid dari kursi kepresidenan.

Dalam sidang Istimewa tersebut MPR menilai Presiden K.H. Abdurrahman Wahid telah melanggar Ketetapan MPR Nomor VII/MPR/2000, karena menetapkan Komjen (pol.) Chaerudin sebagai pemangku sementara jabatan kepala Polri.